09 Agustus 2008

BSE Harus Menjadi Buku Inti Pelajaran


SURABAYA - Kebingungan sekolah dan guru soal pengadaan buku sekolah elektronik (BSE), menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Pemprov Jatim Rasiyo, semestinya tidak perlu terjadi. Sebab, aturan dari Mendiknas sudah jelas.

''Bahwa BSE memang harus menjadi buku inti kegiatan belajar mengajar. Buku-buku lain digunakan untuk pengayaan,'' katanya kemarin (8/8).

Dia menjelaskan, BSE dijadikan buku inti karena merupakan program buku murah yang digagas Mendiknas. Murah karena hak cipta buku tersebut sudah dibeli Depdiknas. Dengan demikian, siapa saja boleh menggandakan buku tersebut. ''Total terdapat 332 judul buku yang sudah dibeli hak ciptanya oleh Depdiknas,'' ujarnya.

Untuk mempermudah distribusi, buku-buku tersebut dijadikan bentuk file dan diunggah (upload) melalui situs internet. "Ratusan buku itu, rencananya, dibagi menjadi tiga gelombang. Pertama 44 judul buku, kemudian sekarang 122 judul buku, dan yang akan datang 166 judul," jelas Rasiyo.

Karena sudah di-upload melalui situs internet, siapa pun bisa mengunduh (download) dan menggandakan. Baik itu perorangan maupun penerbitan. Namun, jika diperjualbelikan, memang ada aturan yang harus ditaati. "Kalau hanya untuk kepentingan sekolah sendiri, boleh langsung di-download, terus difotokopi. Tidak usah dipersulit," kata pria berkacamata itu.

Dia menegaskan, sekolah tidak harus menggunakan BSE dalam bentuk cetak yang kini sudah banyak beredar. "Tidak ada ketentuan harus pakai yang versi cetak. Bentuk apa pun boleh. Di-print di kertas jelek juga boleh," tegas Rasiyo. Soal adanya versi cetak dari BSE, dia membebaskan sekolah.

''Kalau memang lebih suka pakai yang versi cetak, silakan. Dilihat dulu harganya. BSE versi cetak paling tidak harus dijual sepertiga buku paket non-BSE. Namanya saja program buku murah," katanya. Karena judul buku yang ditawarkan dalam BSE banyak, sekolah bebas menentukan satu di antaranya.

Rasiyo menjelaskan, karena BSE merupakan buku inti, idealnya guru-guru bersangkutan harus memegang atau memiliki sesuai bidang pelajarannya. Misalnya, seorang guru matematika harus memahami buku-buku matematika apa yang diterbitkan dalam sebuah BSE. ''Setelah itu, disampaikan saja kepada siswa-siswinya. Buku inilah yang Pak atau Bu Guru pakai. Silakan kalau mau beli, sudah ada di toko buku,'' ungkapnya.

Atau, lanjut Rasiyo, guru bisa meminta anak didiknya untuk memfotokopi kalau tidak mau membeli dalam versi cetak. Soal adanya sekolah yang memaksa murid membeli BSE versi cetak bagaimana? "Kalau memaksa tidak boleh. Kalau mengoordinasi bisa. Tapi, harus hati-hati dan transparan," tegasnya.

Rasiyo tidak mengingkari, sejauh ini masih banyak sekolah atau guru yang menggunakan buku lain sebagai pegangan. Namun, dia kembali mengingatkan, BSE harus tetap dijadikan buku inti. "Ini sudah dijelaskan dalam permendiknas. Mestinya, sekolah sudah langsung melaksanakan. Tidak usah menunggu sosialisasi lagi," katanya. Kalau sudah telanjur menggunakan, buku paket lain atau non-BSE itu hanya digunakan untuk pendalaman materi.

Tidak ada komentar: